Membangun Ka’bah dengan harta halal, inilah yang dilakukan dahulu di masa silam.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh Abdur Razaq, Al-Hakim, dan Ath-Thabrani bahwa Ka’bah pada zaman jahiliyah dibangun dengan batu-batu yang bertumpukan tanpa ada tanah liat atau semacam semen yang mengikat batu-batu itu. Ia seukuran apa yang dimasuki oleh anak kambing, berbentuk seperti lingkaran huruf D.”
Ka’bah pada waktu itu (tidak diberi atap), kainnya ditutupkan di atasnya lalu terurai ke bawah, dan memiliki dua sudut. Rumah-rumah penduduk mengelilingi Ka’bah. Pada riwayat Bukhari dari Amr bin Dinar dan Ubaidillah bin Abi Yazid berkata, “Pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ka’bah tidak memiliki tembok yang mengelilinginya, hingga tibalah masa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu dan membangun sekelilingnya tembok penghalang. Ubaidillah berkata, “Dinding Ka’bah pendek kemudian dibangun oleh Ibnu Az-Zubair.” Oleh karena itu, apabila hujan datang, maka selalu berhadapan dengan air deras yang mengalir dari gunung Mekah, karena tidak ada tembok di sekelilingnya yang bisa menghalaunya.
Ketika usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai 35 tahun datanglah banjir besar yang menyebabkan dinding-dinding Ka’bah rusak dan meluluhkan pondasinya. Pada saat itulah, orang-orang Quraisy bermaksud merobohkannya, tetapi takut terjadi apa-apa karena mereka sangat mencintai Ka’bah. Oleh karena itu, datanglah Al-Walid dengan membawa kampak sambil berkata, “Apakah kalian menghancurkan Ka’bah karena bermaksud memperbaiki atau merusak?” Mereka berkata, “Kita ingin memperbaikinya.” Dia berkata, “Ketahuilah sesungguhnya Allah tidak akan membinasakan orang yang berbuat baik dan kemudian mulai menghancurkan bagian tertentu darinya.” Malam itu berlalu dalam penantian tentang apakah akan terjadi sesuatu terhadap Al-Walid. Kalau ternyata terjadi apa-apa, maka mereka akan mengembalikan seperti semula dan apabila tidak terjadi apa-apa, maka perobohan akan dilanjutkan karena ternyata Allah meridhainya.
Oleh karena itu, pada pagi hari, Al-Walid kembali melanjutkan pekerjaannya dan diikuti oleh yang lainnya, hingga dinding Ka’bah roboh dan sampai pada pondasi (yang telah dibangun oleh) Ibrahim ‘alaihis salam. Mereka membiarkan pondasinya seperti semula dan mulai membangun kembali dinding-dindingnya dengan harta infak bersama dengan syarat bukan dari hasil prostitusi, bukan dari hasil transaksi riba, dan bukan karena hasil kezaliman terhadap orang lain, semua harus bersumber dari harta yang halal.
Orang-orang Quraisy berhasil menunaikan tugas dengan membangun Ka’bah berdasarkan jatah Kabilah masing-masing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terlibat dalam pembangunan Ka’bah.
Dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Tatkala Ka’bah dibangun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi bersama Al-Abbas radhiyallahu ‘anhu. Mereka berdua mengangkat batu, kemudian Al-Abbas berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Letakkan sarungmu di atas pundakmu agar batu tidak melukaimu.’ Tetapi tiba-tiba dia terjatuh ke tanah dan matanya melihat ke langit, dan setelah tersadar ia berkata, ‘Sarungku, sarungku, kemudian Al-Abbas menutupkan kembali sarugnya.’” (HR. Bukhari, Fath Al-Bukhari, 7:145)
Pelajaran Penting Mengenai Menginfakkan Harta Halal
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik).” (HR. Muslim, no. 1015). Yang dimaksud dengan Allah tidak menerima selain dari yang thoyyib (baik) telah disebutkan maknanya dalam hadits tentang sedekah. Juga dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلاَّ أَخَذَهَا اللَّهُ بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ قَلُوصَهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ
“Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu.” (HR. Muslim no. 1014)
Sedekah dengan Harta Haram
Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:
1- Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau dimusnahkan.
2- Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.
3- Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hlm. 92-93.
Jika Diberi Harta Riba
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, harta riba masuk dalam kaedah,
أَنَّ مَا حُرِّمَ لِكَسْبِهِ فَهُوَ حَرَامٌ عَلَى الكَاسِبِ فَقَطْ، دُوْنَ مَنْ أَخَذَهُ مِنْهُ بِطَرِيْقٍ مُبَاح
“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh).” (Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh, pertemuan kedua, pertanyaan no. 59, 1:102)
Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?
Dalam rangka hati-hati, harta haram disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi si pemilik harta haram.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Masih bersambung ke bahasan berikutnya tentang pembangunan Ka’bah. Moga Allah mudahkan.
—
Disusun di Perpus Rumaysho, 23 Jumadal Ula 1439 H, Jumat pagi
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com